Jumat, 13 Januari 2012

Materi Pendidikan menurut perspektif hadits


A.    Teks Hadits
عَلِّمُوْا الصَّبيَ الصَّلاَة ابْنَ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ
(رواه الترمذي)[1]
B.     Terjemah
Ajarilah anak tentang shalat ketika ia berumur tujuh tahun, dan pukullah jika diabaikannya ketika berumur sepuluh tahun.
C.     Status hadits
Hadits tersebut diatas berstatus shahih dalam penilaian al Hakim dan Al Dzahabi sesuai syarat kesahihan Imam Muslim. Sedangkan menurut Al-Turmudzi, hadits ini hasan shahih.
D.    Pokok Kandungan Hadits
Pokok kandungan hadits tesebut adalah tentang materi pendidikan yang terpenting diberikan kepada anak ketika sudah mumayyiz adalah shalat.
E.     Syarah hadits
Meskipun shalat tidak diwajibkan atas anak-anak kecil, namun hendaklah mereka disuruh shalat apabila mereka sudah mencapai umur tujuh tahun, dan hendaklah mereka dihardik lantaran tidak mau mengerjakan shalat, apabila umur mereka sudah mencapai sepuluh tahun, dimaksudkan agar mereka terlatih mengerjakannya. Karena pada masa ini oleh orang tua juga disebut masa menyulitkan karena anak-anak tidak mau lagi menurut perintah, mereka lebih banyak dipengaruhi oleh teman-temannya daripada orang tua dan anggota keluarganya sendiri.[2]
Sejak usia 7 tahun anak selain terus diajak juga mulai disuruh menunaikan shalat, baik bersama atau sendiri.  Anak diajari hukum seputar wudhu, niat, rukun dan bacaannya, tayamum, jenis air dan bersuci secara umum, adab seputar wudhu termasuk doa sehabis berwudhu.  Anak juga diajari tentang macam shalat fardhu dan sunnah beserta jumlah rakaatnya.  Juga tentang syarat, rukun dan bacaannya, yang membatalkannya, sunahnya, gerakan shalat yang benar, adab shalat, dsb.  Termasuk adab, bacaan dan zikir sesudah shalat.
Sediakan alat-alat peraga untuk mempermudah mengajarkan shalat.  Misal: memajang gambar tuntunan berwudhu, tuntunan shalat, atau dengan memutarkan VCD tuntunan berwudhu dan shalat.  Ajak anak memperhatikannya dan berikan penjelasan tentangnya sedikit demi sedikit sampai ia paham benar. 
Doronglah dan beri kesempatan ia melakukan praktik shalat. Beri penghargaan kepadanya.  Jangan pelit memberikan pujian atau hadiah, misalnya. Kita perlu mendorong anak menanyakan hal yang belum ia mengerti.  Kita hendaknya mendengarkannya dengan antusias dan menjelaskan apa yang ia tanyakan.  Saat sedang safar, kita bisa menggunakannya untuk mengajari anak tentang shalat dalam safar, baik shalat jamak ataupun qashar. 
Jika anak masih keliru maka perbaiki kekeliruan itu secara persuasif. Tahapan ini adalah tahapan yang lebih menekankan aspek persuasif.  Mengobral celaan hendaknya dijauhi dan diminimalkan. Sebaliknya, perbaiki kekeliru-annya dengan menunjukkannya cara yang benar.  Ibn Abbas bertutur, ia pernah menginap di tempat bibinya, Ummul Mukminin Maimunah.  Saat Rasulullah bangun shalat malam, ia turut bangun dan ikut shalat. Ia berdiri di samping kiri Beliau, lalu Beliau menariknya ke sebelah kanan Beliau. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Shahih Ibn Khuzaimah.
Anak mesti dipahamkan bahwa menunaikan shalat adalah perkara yang sangat penting dan harus sangat diperhatikan.  Tunjukkan penghargaan kita saat anak menunaikannya dengan baik.  Sebaliknya,  tunjukkan juga ketidaksukaan kita saat ia lalai.  Tunjukkan bahwa kita sangat memperhatikan shalat dan mengutamakannya.  Misal, saat hendak berangkat ke satu acara, sedangkan anak belum shalat dan belum ganti pakaian, maka tidak sepantasnya kita katakan, Nanti saja shalat sepulangnya. Cepat siap-siap sana, atau, Shalat cepat sana dan berpakaian.  Sadar atau tidak, dengan itu kita telah menyuruhnya menomorduakan shalat.  Sebaiknya kita katakan, Shalatlah dulu. Kalau sudah selesai, segera berpakaian.
Semua itu adalah tugas ayah dan ibu; perlu kerjasama yang apik di antara keduanya.  Misal, saat ibu sedang haid, ayah mengambil peran itu.  Saat Anda (ayah) tidak berada di rumah, teleponlah anak Anda dan tanyakan, sudahkah ia menunaikan shalat.
Harus diingat bahwa upaya mengajak, menyuruh dan mengajari anak pada tahap ini harus dilakukan secara persuasif, perlahan, bertahap, dan dengan pengulangan terus-menerus disertai kesabaran. Sahabat Ibn Masud menasihati kita, Jagalah anak-anakmu dalam hal shalat, dan latihlah melakukan kebaikan, karena kebaikan itu adalah kebiasaan. Berbagai penelitian modern juga membuktikan pentingnya pengulangan.  Karena itu, janganlah kita pernah bosan dan putus asa untuk mengulang dan mengulanginya lagi.[3]
Pada tahap yang kedua yaitu menyuruh dan memberi sangsi. Tahapan ini dimulai sejak anak berusia 10 tahun.  Pada tahapan ini upaya memahamkan anak secara persuasif harus dilakukan lebih intensif.  Harus dijelaskan kepada anak akan wajibnya shalat, pahala surga bagi orang yang senantiasa menjaga shalatnya, serta dosa dan siksa neraka bagi yang melalaikannya.  Hal itu disertai deskripsi tentang surga dan kenikmatannya serta neraka dan kepedihan azabnya. Cara ini bisa dilakukan dengan membacakan ayat tentang sifat mutaqqin, tentang surga dan neraka, dan ayat lain beserta uraian dan penjelasannya. 
Berikan nasihat dan peringatan kepada anak dengan cara dan ungkapan yang berkesan.  Cara dan ungkapan yang menunjukkan bahwa kita sangat menyayanginya, dan kita sangat ingin kelak bisa bersamanya di surga, karenanya kita ingin ia senantiasa menjaga shalat.  Hal itu bisa disampaikan dengan berbicara berdua dengannya saat menjelang ia tidur; bisa juga disampaikan oleh ayah lewat surat yang ditulis sebelum keluar kota untuk diberikan kepadanya oleh ibu saat ayah sudah berangkat; atau dengan cara dan bentuk lainya. Di sini perlu kreativitas.
Ketika tahapan a dan b serta upaya ini sudah dilakukan, dan anak lalai atau meremehkan shalat, atau malas-malasan, maka hal itu harus disolusi dengan memberikan sanksi, di antaranya dengan memukulnya, sesuai dengan hadis Rasul saw. di atas; yaitu dengan pukulan mendidik, bukan pukulan menyiksa; sebaiknya disertai dengan memahamkannya sebab ia dipukul; juga bahwa kita melakukannya karena kita sangat menyayanginya. Akan sangat berpengaruh seandainya saat melakukan itu terlihat titik-titik air mata keluar dari mata kita.
Di samping semua itu, latih dan biasakan anak menunaikan shalat sunnah rawatib dan dhuha.  Ajaklah mereka berangkat bersama untuk shalat Id.  Jika telah cukup umur, latih dan ajaklah shalat malam. Jika mereka mempunyai urusan, dorong dia untuk shalat istikharah.  Anak juga harus dilatih dan dibiasakan shalat di masjid.  Ajak mereka shalat berjamaah di masjid sekaligus untuk mengajari mereka shalat berjamaah, termasuk untuk shalat Jumat bagi anak laki-laki. Karena itu, juga perlu diajarkan adab di masjid, mulai dari meletakkan sandal teratur ditempatnya, masuk dengan tenang, shalat tahiyat masjid, tidak gaduh dan mondar-mandir di dalam masjid, memper-hatikan kajian dan khutbah, dsb.  Hendaknya kita berupaya menautkan hati mereka dengan masjid, di antaranya dengan sering mengajak ke masjid, mendorong ke masjid sendiri, mengingat masjid, dsb.[4]
Selain materi yang harus diberikan kepada anak didik, ada pula materi yang tidak boleh diajarkan kepada anak didik. Diantaranya disebutkan dalam hadits yang berbunyi:
مَفَاتِيْحُ الغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهَا إلاَّ اللهُ لاَ يَعْلَمُ مَا تَغِيضُ الأَرْحَامَ أحَدٌ إلاَّ الله وَلاَ مَا فِي غَدٍ إلاَّ الله وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى يَأتِي المَطَرُ إلاَّ الله وَلاَ تَدْرِي نَفْسٌ بِأيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ وَلاّ يَعْلَمُ مَتَى تَقُوْمُ السَّاعَة أحَدٌ إلاَّ اللهُ
(رواه ابن حبّان)
Artinya:
Kunci-kunci kegaiban ada lima: tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan rahim kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui masa depan kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah, tidak ada seseorang yang mengetahui di bumi manakah ia akan mati, dan tidak ada yang mengetahui kapan tejadinya hari kiamat. (H.R. Ibn Hibban)
Hadits tersebut diatas berstatus shahih menurut syarat muslim.
Maksud dari kandungan hadits diatas adalah tidak semua materi pendidikan boleh diajarkan kepada peserta didik, karena ada pertimbangan situasi, kondisi, dan tingkat penerimaan seseorang terhadap materi-materi pendidikan tertentu.
Diantara materi yang dilarang adalah tentang ramalan masa depan. Mempercayai ramalan yang akan terjadi di masa depan bisa membahayakan keimanan kita. Sebab ramalan masa depan itu adalah salah satu pintu dari pintu-pintu syirik. Sementara dosa syirik itu kalau sampai terbawa mati tanpa sempat bertaubat sebelumnya, tidak akan diampuni di akhirat.[5]
Hadits di atas tidak menolak kalau manusia bisa saja mengetahui sebagian kecil apa yang ada di dalam rahim. Hanya saja yang ditolak adalah pengetahuan menyeluruh berkenaan dengan apa yang terjadi di dalam rahim, semisal peniupan roh, penetapan keempat takdir kepada janin, dan semacamnya.[6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar