A. Teks
Hadits
عَلِّمُوْا الصَّبيَ
الصَّلاَة ابْنَ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ
B. Terjemah
Ajarilah anak tentang shalat ketika ia berumur tujuh tahun, dan pukullah
jika diabaikannya ketika berumur sepuluh tahun.
C. Status hadits
Hadits tersebut diatas berstatus shahih dalam penilaian al Hakim dan Al
Dzahabi sesuai syarat kesahihan Imam Muslim. Sedangkan menurut Al-Turmudzi,
hadits ini hasan shahih.
D. Pokok Kandungan Hadits
Pokok kandungan hadits tesebut adalah tentang materi pendidikan yang
terpenting diberikan kepada anak ketika sudah mumayyiz adalah shalat.
E. Syarah
hadits
Meskipun shalat
tidak diwajibkan atas anak-anak kecil, namun hendaklah mereka disuruh shalat
apabila mereka sudah mencapai umur tujuh tahun, dan hendaklah mereka dihardik
lantaran tidak mau mengerjakan shalat, apabila umur mereka sudah mencapai
sepuluh tahun, dimaksudkan agar mereka terlatih mengerjakannya. Karena pada
masa ini oleh orang tua juga disebut masa menyulitkan karena anak-anak tidak
mau lagi menurut perintah, mereka lebih banyak dipengaruhi oleh teman-temannya
daripada orang tua dan anggota keluarganya sendiri.[2]
Sejak
usia 7 tahun anak selain terus diajak juga mulai disuruh menunaikan shalat,
baik bersama atau sendiri. Anak diajari hukum seputar wudhu, niat, rukun
dan bacaannya, tayamum, jenis air dan bersuci secara umum, adab seputar wudhu
termasuk doa sehabis berwudhu. Anak juga diajari tentang macam shalat
fardhu dan sunnah beserta jumlah rakaatnya. Juga tentang syarat, rukun
dan bacaannya, yang membatalkannya, sunahnya, gerakan shalat yang benar, adab
shalat, dsb. Termasuk adab, bacaan dan zikir sesudah shalat.
Sediakan
alat-alat peraga untuk mempermudah mengajarkan shalat. Misal: memajang
gambar tuntunan berwudhu, tuntunan shalat, atau dengan memutarkan VCD tuntunan
berwudhu dan shalat. Ajak anak memperhatikannya dan berikan penjelasan
tentangnya sedikit demi sedikit sampai ia paham benar.
Doronglah
dan beri kesempatan ia melakukan praktik shalat. Beri penghargaan
kepadanya. Jangan pelit memberikan pujian atau hadiah, misalnya. Kita
perlu mendorong anak menanyakan hal yang belum ia mengerti. Kita
hendaknya mendengarkannya dengan antusias dan menjelaskan apa yang ia tanyakan.
Saat sedang safar, kita bisa menggunakannya untuk mengajari anak tentang shalat
dalam safar, baik shalat jamak ataupun qashar.
Jika
anak masih keliru maka perbaiki kekeliruan itu secara persuasif. Tahapan ini
adalah tahapan yang lebih menekankan aspek persuasif. Mengobral celaan
hendaknya dijauhi dan diminimalkan. Sebaliknya, perbaiki kekeliru-annya dengan
menunjukkannya cara yang benar. Ibn Abbas bertutur, ia pernah menginap di
tempat bibinya, Ummul Mukminin Maimunah. Saat Rasulullah bangun shalat
malam, ia turut bangun dan ikut shalat. Ia berdiri di samping kiri Beliau, lalu
Beliau menariknya ke sebelah kanan Beliau. Demikian sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibn Khuzaimah dalam Shahih Ibn Khuzaimah.
Anak
mesti dipahamkan bahwa menunaikan shalat adalah perkara yang sangat penting dan
harus sangat diperhatikan. Tunjukkan penghargaan kita saat anak
menunaikannya dengan baik. Sebaliknya, tunjukkan juga ketidaksukaan
kita saat ia lalai. Tunjukkan bahwa kita sangat memperhatikan shalat dan
mengutamakannya. Misal, saat hendak berangkat ke satu acara, sedangkan
anak belum shalat dan belum ganti pakaian, maka tidak sepantasnya kita katakan,
Nanti saja shalat sepulangnya. Cepat siap-siap sana, atau, Shalat cepat sana
dan berpakaian. Sadar atau tidak, dengan itu kita telah menyuruhnya
menomorduakan shalat. Sebaiknya kita katakan, Shalatlah dulu. Kalau sudah
selesai, segera berpakaian.
Semua
itu adalah tugas ayah dan ibu; perlu kerjasama yang apik di antara
keduanya. Misal, saat ibu sedang haid, ayah mengambil peran itu.
Saat Anda (ayah) tidak berada di rumah, teleponlah anak Anda dan tanyakan,
sudahkah ia menunaikan shalat.
Harus
diingat bahwa upaya mengajak, menyuruh dan mengajari anak pada tahap ini harus
dilakukan secara persuasif, perlahan, bertahap, dan dengan pengulangan
terus-menerus disertai kesabaran. Sahabat Ibn Mas’ud menasihati kita, Jagalah anak-anakmu dalam
hal shalat, dan latihlah melakukan kebaikan, karena kebaikan itu adalah
kebiasaan. Berbagai penelitian modern juga membuktikan pentingnya
pengulangan. Karena itu, janganlah kita pernah bosan dan putus asa untuk
mengulang dan mengulanginya lagi.[3]
Pada
tahap yang kedua yaitu menyuruh dan memberi sangsi. Tahapan ini dimulai sejak
anak berusia 10 tahun. Pada tahapan ini upaya memahamkan anak secara
persuasif harus dilakukan lebih intensif. Harus dijelaskan kepada anak
akan wajibnya shalat, pahala surga bagi orang yang senantiasa menjaga
shalatnya, serta dosa dan siksa neraka bagi yang melalaikannya. Hal itu
disertai deskripsi tentang surga dan kenikmatannya serta neraka dan kepedihan
azabnya. Cara ini bisa dilakukan dengan membacakan ayat tentang sifat mutaqqin,
tentang surga dan neraka, dan ayat lain beserta uraian dan penjelasannya.
Berikan
nasihat dan peringatan kepada anak dengan cara dan ungkapan yang
berkesan. Cara dan ungkapan yang menunjukkan bahwa kita sangat
menyayanginya, dan kita sangat ingin kelak bisa bersamanya di surga, karenanya
kita ingin ia senantiasa menjaga shalat. Hal itu bisa disampaikan dengan
berbicara berdua dengannya saat menjelang ia tidur; bisa juga disampaikan oleh
ayah lewat surat yang ditulis sebelum keluar kota untuk diberikan kepadanya
oleh ibu saat ayah sudah berangkat; atau dengan cara dan bentuk lainya. Di sini
perlu kreativitas.
Ketika
tahapan a dan b serta upaya ini sudah dilakukan, dan anak lalai atau meremehkan
shalat, atau malas-malasan, maka hal itu harus disolusi dengan memberikan
sanksi, di antaranya dengan memukulnya, sesuai dengan hadis Rasul saw. di atas;
yaitu dengan pukulan mendidik, bukan pukulan menyiksa; sebaiknya disertai
dengan memahamkannya sebab ia dipukul; juga bahwa kita melakukannya karena kita
sangat menyayanginya. Akan sangat berpengaruh seandainya saat melakukan itu
terlihat titik-titik air mata keluar dari mata kita.
Di samping
semua itu, latih dan biasakan anak menunaikan shalat sunnah rawatib dan
dhuha. Ajaklah mereka berangkat bersama untuk shalat Id. Jika telah
cukup umur, latih dan ajaklah shalat malam. Jika mereka mempunyai urusan,
dorong dia untuk shalat istikharah. Anak juga harus dilatih dan
dibiasakan shalat di masjid. Ajak mereka shalat berjamaah di masjid
sekaligus untuk mengajari mereka shalat berjamaah, termasuk untuk shalat Jumat
bagi anak laki-laki. Karena itu, juga perlu diajarkan adab di masjid, mulai dari
meletakkan sandal teratur ditempatnya, masuk dengan tenang, shalat tahiyat
masjid, tidak gaduh dan mondar-mandir di dalam masjid, memper-hatikan kajian
dan khutbah, dsb. Hendaknya kita berupaya menautkan hati mereka dengan
masjid, di antaranya dengan sering mengajak ke masjid, mendorong ke masjid
sendiri, mengingat masjid, dsb.[4]
Selain
materi yang harus diberikan kepada anak didik, ada pula materi yang tidak boleh
diajarkan kepada anak didik. Diantaranya disebutkan dalam hadits yang berbunyi:
مَفَاتِيْحُ الغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهَا إلاَّ اللهُ لاَ يَعْلَمُ مَا
تَغِيضُ الأَرْحَامَ أحَدٌ إلاَّ الله وَلاَ مَا فِي غَدٍ إلاَّ الله وَلاَ يَعْلَمُ
مَتَى يَأتِي المَطَرُ إلاَّ الله وَلاَ تَدْرِي نَفْسٌ بِأيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ وَلاّ
يَعْلَمُ مَتَى تَقُوْمُ السَّاعَة أحَدٌ إلاَّ اللهُ
(رواه
ابن حبّان)
Artinya:
Kunci-kunci
kegaiban ada lima: tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan rahim kecuali
Allah, tidak ada yang mengetahui masa depan kecuali Allah, tidak ada yang
mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah, tidak ada seseorang yang
mengetahui di bumi manakah ia akan mati, dan tidak ada yang mengetahui kapan
tejadinya hari kiamat. (H.R. Ibn Hibban)
Hadits
tersebut diatas berstatus shahih menurut syarat muslim.
Maksud
dari kandungan hadits diatas adalah tidak semua materi pendidikan boleh
diajarkan kepada peserta didik, karena ada pertimbangan situasi, kondisi, dan
tingkat penerimaan seseorang terhadap materi-materi pendidikan tertentu.
Diantara materi yang dilarang adalah tentang ramalan masa depan. Mempercayai
ramalan yang akan terjadi di masa depan bisa membahayakan keimanan kita. Sebab
ramalan masa depan itu adalah salah satu pintu dari pintu-pintu syirik.
Sementara dosa syirik itu kalau sampai terbawa mati tanpa sempat bertaubat
sebelumnya, tidak akan diampuni di akhirat.[5]
Hadits di atas tidak menolak kalau manusia bisa saja mengetahui sebagian
kecil apa yang ada di dalam rahim. Hanya saja yang ditolak adalah pengetahuan
menyeluruh berkenaan dengan apa yang terjadi di dalam rahim, semisal peniupan
roh, penetapan keempat takdir kepada janin, dan semacamnya.[6]
[1]
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan At Tirmidzi, Darul fikr,
Beirut, jilid 1, h 416
[2]
http://kajad-alhikmahkajen.blogspot.com/2009/12/psikologi-perkembangan.html akses tgl 1 Nov 2011
[4]
Ibid,
[5]
http://kua-tapaktuan.blogspot.com/2008/12/hukum-meramal.html
akses tgl 4 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar