Jumat, 13 Januari 2012

Filsafat Pendidikan

FILSAFAT PENDIDIKAN

DI SUSUN OLEH:

MARDIAH, S.Ag. M.Fil.I

SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM

DARUL ULUM KANDANGAN

FAKULTAS TARBIYAH

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DAFTAR ISI

BAB I : Pengertian, metode, struktur, serta sistematika pembahasan filsafat Pendidikan secara umum

BAB II : Pengertian Pendidikan Filsafat, Filsafat pendidikan dan Peranan Filsafat Pendidikan

BAB III : Proses Hidup manusia dan Filsafat Pendidikan

BAB IV : Fungsi dan peranan lembaga Pendidikan bagi Manusia

BAB V : Pengertian Demokrasi Pendidikan dan prinsip-prinsip Demokrasi dalam pendidikan

BAB VI : Prinsip-prinsip demokrasi Pendidikan dalam pandangan Islam

BAB VII : Demokrasi pendidikan di indonesia

BAB VIII : Aliran Progresivisme dalam Pendidikan

BAB IX : Aliran Esensialisme dalam Pendidikan

BAB X : Aliran Rekontruksionisme

BAB I

PENGERTIAN, OBJEK, METODE, STRUKTUR, SERTA SISTEMATIKA PEMBAHASAN FILSAFAT PENDIDIKAN SECARA UMUM

A. Pengertian Filsafat

Kata ”Filsafat” berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari kata ”philos” dan ”sophia”. Philos artinya cinta yang Sangat mendalam dan sophia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi arti filsafat secara harfiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan atau kebijakan.[1] Kata filsafat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Falsafah. Dalam penggunaan secara populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu), dan dapat juga disebut pandangan hidup (masyarakat). Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pytogoras (582-496 SM).

Mohammad Noor Syam mengatakan filsafat adalah satu lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang amat luas (komprehensif). Filsafat menjangkau semua persoalan dalam daya kemampuan pikir manusia. Filsafat mencoba mengerti, menganalisis, menilai dan menyimpulkan semua persoalan-persoalan dalam jangkauan rasio manusia, secara kritis, rasional dan mendalam.[2]

B. Objek Filsafat

Obyek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.[3]

1. Objek Material Filsafat

Objek material filsafat adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material juga adalah yang diselidiki, dipandang, atau disorot, oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal yang konkrit ataupun hal yang abstrak.

Objek material dari filsafat ada beberapa istilah dari para cendikiawan, namun semua itu sebenarnya tidak ada yang brtentangan.

1. Mohammad Noor Syam berpendapat, ”Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu dibedakan atas objek material filsafat; segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik materiil konkrit phisis maupun nonmateril abstrak, psikis. Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spritual dan nilai-nilai”. Dengan demikian, objek filsafat tidak terbatas.[4]

2. Oemar Amir Hoesin berpendapat, masalah lapangan penyelidikan filsafat adalah ”karena manusia mempunyai kecendrungan hendak berpikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada.”

3. Louis O.Kattsoff berpendapat, ”Lapangan kerja filsafat sangat luas meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu apa saja yang ingin di ketahui manusia”.

4. H.A Dardiri berpendapat, ”objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan”.

5. Abbas Hamami M, berpendapat, ”sehingga dalam filsafat objek materiil itu adalah ada yang mengatakan, alam semesta, semua keberadaan, masalah hidup, masalah manusia, masalah Tuhan dan lainnya.

2. Objek Formal Filsafat

Objek formal yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya, objek materialnya adalah ”manusia” dan manusia ini ditinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia diantaranya psikologi, antropologi, sosiologi, dan sebagainya.[5]

Objek formal filsafat, yaitu sudut pandangan yang menyeluruh, secara umum sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya.Oleh karena itu yang membedakan antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain terletak dalam objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun pada objek formalnya membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya.

3. Metode filsafat

Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah). Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.

Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan definisi dari para ahli dan filsuf sendiri. Karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai denga corak dan pandangan filsuf itu sendiri.

4. Struktur dan Sistematika Filsafat

Para ahli berbeda-beda dalam pembagian atau sistematika filsafat itu, tetapi untuk uraian disini kita mengikuti sistemtika yang sederhana: ontologi, epistemologi dan axiologi. Sistematika demikian, terutama berdasarkan pembagian atau sistematika yang dikemukakan antara lain oleh Prof. Dr. Langeveld dan Prof. Dr. Theodore Brameld.

1. Sistematika Langeveld diuraikan sebagai berikut:[6]

”Maka filsafat dapat kita berikan sebagai suatu kesatuan yang berdiri dari tiga lingkungan masalah :

  1. Lingkungan masalah-masalah keadaan (metafisika manusia, alam dan seterusnya)
  2. Lingkungan masalah-masalah pengetahuan (Wissenschaftlehre: teori kebenaran, teori pengetahuan, logika);
  3. Lingkungan masalah-masalah nilai (teori nilai), etika, estetika, yang bernilai berdasarkan religi).

2. Sistematika Brameld sebagai berikut:

Philosophy has been divided into spsialized branches, methods, and divisions, each of which his concentrantrates upon one major area of belief. This is an admission, perhaps that the question is simply too complex to be treated as a whole. As to the number of such divisions philosophers have differed among them selves..some speaking of four or five,

For our purposes we consider but three, regarding others as subsidiary to them. These are : (1) study of the principles of reality; (2) study of the principles of knowledge; and (3) study of the principles of value. The historic labels we shall use for these branches of philosophic investigation are ontology, epistemology and axiology.

3. Prof. Dr. Mujamil Omar, M.Ag mengatakan bahwa :[7]

Dalam sistematika filsafat terdapat tiga macam sub sistem yaitu ontology[8], epistemology[9] dan aksiologi[10]. Epistemology mencakup pembahasan tentang batas pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas pengetahuan, metode untuk mendapatkan pengetahuan dan lain-lain. Metode untuk mendapatkan pengetahuan menjadi pembahasan sendiri yang disusun secara sistematis dan logis, sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian disebut metodologi. Filsafat mencakup epistemology, selanjutnya epistemology mencakup metodologi. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa metodologi merupakan salah satu perwujudan operasional dari epistemology. Demikian juga kronologi struktur dalam metodologi Islam, yaitu berangkat dari filsafat Islam yang mencakup epistemology Islam sedang epistemology Islam melahirkan metodologi Islam.

Setiap disiplin ilmu sebaiknya dihasilkan dari kerja epistemologinya. Dalam konteks ini, Pendidikan Islam harus didekatkan pada epistemology untuk mewujudkan apa yang disebut dengan epistemology pendidikan Islam.[11] Upaya penggalian, penemuan dan pengembangan pendidikan Islam bisa efektif dan efesien. Karena dalam kajian Islam selama ini belum dikembangkan atgas kerangka epistemology yang jelas. Hingga sekarang ini belum ada sebuah tawaran konseptual mengenai bangunan epistemology pendidikan Islam

BAB II

PENGERTIAN PENDIDIKAN FILSAFAT, FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Definisi Pendidikan

Banyak ahli membahas definisi “pendidikan” tetapi dalam pembahasannya mengalami kesulitan karena antara satu definisi dengan yang lain sering terjadi perbedaan. Menurut Ahmad Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau didikan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan anak didik, baik jasmani dan rohani, menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[12] Menurut definisi ini, pendidikan hanya terbatas pada pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik. Pertanyaannya adalah bagaimana bila bimbingan tersebut oleh dan untuk dirinya sendiri? Bagaimana bila bimbingan itu dilakukan oleh alam dan lingkungan, apakah tidak disebut pendidikan?

Sedangkan Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan secara luas yaitu “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”, dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan “pengembangan prbadi” mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek” mencakup aspek jasmani, akal dan hati. Dengan demikian, tugas pendidikan bukan sekedar meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian anak didik. Definisi inilah yang dikenal dengan istilah tarbiyah.

Al-Attas berpendapat bahwa kata “pendidikan” berasal dari terjemahan kata ta’dib yang khusus dipakai untuk pendidikan Islam. Secara bahasa, kata ta’dib berasal dari kata addaba yang berarti adab atau mendidik. Menurut kata tersebut penggunaannya dikhususkan untuk pengajaran Tuhan kepada nabi-Nya, sehingga dalam konteks ini ia mendefinisikan pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada diri manusia.

B. Pengertian Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkn kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidik secara praktis.

Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah pendidiakan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti:

a. Hakekat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk mencapainya

b. hakekat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan

c. hakekat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial

d. hakekat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.

Selanjutnya Al-Syaibani berpandangan bahwa filsafat pendidikan, sepertinya halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha unutk mendalami konsep-konsep pendidikan dan memmahami sebab-sebab yang hakiki dari masalah pendidikan. Filsafat pendidikan juga membahas tentang segala yang mungkin mengarahkan proses pendidikan.

Pada bagian lain Al-Syaibani mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsof pendidikan, diantaranya:

a. Merancang dengan bijak dan arif unuk menjadikan proses dan usaha-usaha pendidikan pada suatu bangsa.

b. Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada Tuhan dengan segala aspeknya

c. Menunjukan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah cara-cara hidup mereka kearah yang lebih baik

d. Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada masyarakat dan menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran dan cara-cara mencapai kebenaran tersebut. Filsof pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas dan menyeluruh tentang ujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan, kemanusiaan, pengetahuan kealaman dan pengetahuan sosial. Filsof pendidikan harus pula mampu memahami nilai-nilai kebaikan, keindahan dan kebenaran.

Menurut Kneller, filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan. Seperti halnya filsafat, filasafat pendidikan dapat dikatakan spikulatif, preskriptif, dan analitik.

Filsafat pendidikan dikatakan spekulatif karena berusaha membangun teori-teori hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat dunia, yang sangat bermamfaat dalam menafsirkan data-data sebagai hasil penelitian sains yang berbeda.

Filsafat pendidikan dikatakan preskriptif apabila filsafat pendidikan menentukan tujuan-tujuan yang harus diikuti dan dicapainya dan menentukan cara-cara yang tepat dan benar untuk digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Pendidikan yang berdasarkan pada falsafah pancasila yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 adalah preskriptif. Karena, secara tersurat mennetukan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Pendidikan yang berdasarkan pancasila juga menentukan cara-cara unruk mencapai tujuan tersebut, dengan melalui jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah, di lengkapi pula dengan aturan-aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan.

6

Filsafat Pendidikan dikatakakn analitik, apabila filsafat pendidikan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan preskriptif. Misalnya menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Mialnya kita memperkenalkan konsep “Cara Belajar Siswa Aktif”. Kita kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang falsafah pancasila. Filsafat pendidikan analitik menguji secara logis konsep-konsep pendidikan, seperti apa yang dimaksud dengan ; “Pendidiakn Dasar 9 Tahun”, Pendidikan Akademik;, pendidikan Seumur Hidup”, dan sebagainyya [13]

C. Hubungan Filsafat dengan Pendidikan

Dalam hubungan filsafat dengan pendidikan, filsafat bukan hanya memberikan sumbangan berupa prinsip-prinsip berpikir filosofis dalam memecahkan berbagai masalah pendidikan, melainkan juga terdapat aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat yaitu logika, estetika, politik metafisika, realitas, pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia, masyarakat, alam dan sebagainya.[14] Hasil pemikiran filsafat tentang berbagai masalah ini dengan karakteristiknya sebagaimana tersebut diatas, sangat dibutuhkan oleh pendidikan, mengingat apa yang menjadi objek filsafat juga menjadi objek pendidikan. Dengan demikian, bahwa hubungan antara filsafat dan pendidikan sangat erat. Kuatnya hubungan tersebut disebabkan karena kedua disiplin ilmu tersebut mengghadapi problem-problem filsafat secara bersama-sama.

Hubungan filsafat dengan pendidikan lebih lanjut tidaklah sepihak, yakni filsafat memberikan sumbangan bagi pendidikan, sementara pendidikan hanya menerima sumbangan. Hubungan anatara filsafat dengan pendidikan sesungguhnya bersifat mutual contribution (sama-sama memberikan sumbangan). Hubungan tersebut dapat dijelaskan dengan mengatakan bahwa dari satu segi bangunan pendidikan harus didasarkan pada hasil pemikiran filsafat tentang berbagai hal. Namun pada sisi lain, pendidikan juga menjadi kenderaan bagi terjadinya proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai filsafat dalam kehidupan masyarakat. Untuk menjamin upaya pendidikan dan proses tersebut efektif, dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.

D. Definisi Pendidikan Islam

Kata Islam yang menjadi imbuhan pada kata pendidikan menunjukkan warna, model, bentuk dan ciri bagi pendidikan yang bernuansa Islam atau pendidikan yang islami. Secara psikologis, kata tersebut mengindikasikan suatu proses untuk mencapai nilai moral, sehingga subjek dan objeknya senantiasa mengkonotasikan kepada perilaku yang bernilai, dan menjauhi sikap amoral.[15]

E. Sistem Pendidikan Islam

Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sub sistem-sub sistem atau unsur-unsur pendidikan yang selama ini terkait dalam mewujudkan keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum, materi, metode, pendidik, peserta didik, sarana alat, pendekatan dan sebagainya. Keberadaan satu unsusr membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu diantara unsur-unsur itu proses pendidikan menjadi terhalang, sehingga mengalami kegagalan, misalnya dalam proses pendidikan tidak hanya ada tujuan pendidikan, maka pendidikan tidak bisa berjalan.

Ketika satu unsur yang dominan mendapat pengaruh tertentu, pada saat yang besamaan unsur-unsur lainnya menjadi terpengaruh. Jikalau karena suatu pengaruh tujuan pendidikan diarahkan pada suatu pengaruh tujuan pendidikan diarahkan pada suatu aksentuasi tertentu, maka materi, metode, sarana, pendidik, peserta didik dan unsur yang lain ikut menyesuaikan semua. Kemudian kita bisa membayangkan, bagaimana mudahnya bagi pendidikan Barat modern mempengaruhi sistem pendidikan Islam dengan cara mempengaruhi substansi tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu. Para pemikir pendidikan Barat dengan leluasa merumuskan konsep-konsep tujuan pendidikan yang sangat menarik, sementara itu karena tidak ada upaya serius dari kita untuk menelitinya, justru kita sendiri mengikutinya. Berawal dari penggarapan tujuan ini, untuk berikutnya akan lebih mudah mempengaruhi unsur-unsur lainnya.

Demi kepentingan antisipasi terhadap meluasnya pengaruh Barat terhadap pendidikan Islam kendatipun terlambat, kita masih perlu meninjau sistem pendidikan Islam. Tampaknya, sistem pendidikan yang ada sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan berat dan serius yang memerlukan penanganan dengan segera[16]

Pendidikan Islam merupakan sistem tersendiri diantara berbagai sistem di dunia ini, kendatipun ada perincian dan unsur-unsurnya yang bersamaan. Maka sistem pendidikan Islam dapat mengungkapkan bangunan konsep yang tidak lazim bagi model pendidikan yang berkembang selama ini, lantaran sistem pendidikan Islam memiliki ciri-ciri tertentu yang disandarkan pada wahyu. Sedangkan ciri-ciri itu tidak dimiliki oleh sistem pendidikan yang umumnya kita ikuti.

Kata Islam terangkai dalam sistem pendidikan Islam tidak untuk formalitas, tetapi memiliki implikasi-implikasi yang jauh dimana wahyu Allah, baik Alquran maupun al-sunnah ditempatkan sebagai pemberi petunjuk kearah mana proses pendidikan digerakkan, apa bentuk tujuan yang ingin dicapai, bagaimana cara mencapai tujuan itu, orientasi apa yang ingin dituju, dan lain-lain. Disamping itu wahyu tersebut dijadikan alat memantau perkembangan pendidikan Islam apakah telah sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Nya atau telah menyimpang sama sekali dari petunjuk itu. Jadi, dalam sistem pendidikan Islam, wahyu diperankan secara aktif mendampingi akal.

Pesan-pesan wahyu merupakan pesan-pesan yang berasal dari ”langit” , sehingga diyakini selalu memberikan ketentuan-ketentuan yang mensejahterakan dan mendamaikan umat apabila benar-benar dipraktekan. Lebih dari itu pesan-pesan wahyu juga memotivasi umat untuk mengejar kemajuan peradaban, sehingga dapat mengangkat harkat dan martabat manusia muslim. Mengingat kunci utama untuk mencapai kemajuan peradaban itu adalah melalui pendidikan yang benar, maka sistem pendidikan Islam harus diilhami oleh pesan-pesan wahyu tersebut agar senantiasa mmendapatkan ”pengawalan” dan bimbingan. Jangan sampai sistem pendidikan Islam itu diselewengkan hanya lantaran adanya pengaruh lain (seperti akal yang tidak terkendalikan).

Dalam konteks sistem pendidikan Islam ini wahyu bisa digunakan sebagai cermin. Dengan wahyu itu kita dapat megetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam penerapan pendidikan. Dengan wahyu pula kita dapat menemukan cara-cara untuk mengatasi kesalahan itu.

Islamisasi pengetahuan pernah menjadi polemik yang sangat tajam diantara para pemikir Islam seperti Ismail Raji Al-Faruqi, Ziauddin Sardar dan Syed Naquib Al-Attas disatu pihak dengan para penentangnya seperti Mohammad Arkoun dan Aziz Al-Azmeh. Terlepas dari polemik tersebut, yang jelas munculnya wacana islamisasi pengetahuan adalah merupakan respon terhadap keadaan pengetahuan yang tersekulerkan, terdikotomikan dan terbaratkan sehingga mengarah kepada deislamisasi. Dengan kata lain Islamisasi pengetahuan adalah bermaksud mengembalikan pengetahuan ke dalam pengaruh pengaruh nilai-nilai Islam, sebagaimana yang terjadi pada zama kejayaan Islam

F. Problema esensial filsafat dan pendidikan

Filsafat pendidikan yang diberikan pada Departemen kependidikan Islam adalah sepenuhnya filsafat pendidikan Barat yang mulai digugat sebagian besar fakar kita. Sedangkan kajian filsafat Islam sudah hampir putus dari nilai dan wawasan Islam, sehingga perlu segera diperbaiki dan ditekankan kembali pada kajian filsafat pengetahuan Islam, sebab pada sisi inilah yang justru menjadi sumber krisis di dunia muslim dan yang paling sedikit dikaji pada universitas Islam selama ini bahkan ditinggalkan samasekali.[17]

Filsafat adalah wilayah kajian proses yang menghasilkan ilmu. Filsafat ekonomi menghasilkan ilmu ekonomi, filsafat hukum menghasilkan ilmu hukum dan filsafat pendidikan melahirkan ilmu pendidikan . Mengingat bahwa filsafat pendidikan yang diajarkan kepada mahasiswa jurusan pendidikan Islam adalah pemikiran filsafat barat, maka pendidikan yang dikembangkan umat Islam adalah pendidikan yang berpola Barat.

Jika ditelusuri ke belakang, corak pendidikan barat tersebut memiliki jalinan dengan akar sejarah yang berkembang di Barat pada masa lampau. Sebagaimana di kutip Amrulllah Achmad, Muhammad Mubarak menuturkan, “Karakteristik system pendidikan barat adalah sebagai refleksi pemikiran dan kebudayaan abad XVIII-XIX yang ditandai dengan isolasi teradap agama, sekulerisme Negara, materialisme, penyangkalan terhadap wahyu dan penghapuasan nilai-nilai etika, yang kemudian digantikan dengan pragmatisme,[18] maka corak pendidikan barat tersebut tidak terlepas dari pandangan Barat terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera, sehinngga ilmu pengetahuan itu hanta mencakup hal-hal yang dapat diindera dan dinalar semata.

Karakter pendidikan Barat itu tampaknya telah mengilhami pendidikan yang dikembangkan di dunia Islam. Orang-orang Islam misalnya dengan bangga menerapkan model pendidikan Barat, sebagai suatu model yang diagungkan (diunggulkan) di atas model pendidikan lainnya. Bahkan sikap peniruan secara membabi buta itu mendapatkan pengakuan sebagai telah mengikuti perkembangan pendidikan paling modern. Barat selalu diedentikkkandengan modern, padahal sebenarnya hanyalah kebetulan belaka. Munculnya model pendidikan yang paling modern sekalipun, bisa dari Negara-negara Timur, tidak harus dari Barat. Istilah modern sebenarnya hanyalah sebagai sifat dengan indikator tertentu, yaitu efektif dan efesien. Model pendidikan dari manapun datangnya asal lebih efektif daan efesien dibanding model pendidikan lainnyaniscaya harus dianggap paling modern.

Pengaruh karakter pendidikan Barat itu memasuki hampir semua dimensi pendidikan di kalangan muslim. Mereka sekarang ini senantiasa meniru jejak-jejak Barat dalam melakukan proses pendidikan, seperti sistem

menggunakan sistem klasikal, penjejangan kelembagaan, penjenjangan kelas, pemakaian kurikulum yang jelas, pembuatan persiapan pengajaran dan sebagainya.

Adalagi kenyataan yang lebih parah lagi. Banyak dari penerapan pendidikan di dunia Islam terlanjur mengikuti pola dan model yang dikembangkan Barat dengan alasan untuk mencapai kemajuan, seperti yang terjadi di Barat, tetapi kenyataannya sangat berlawanan dengan harapan itu. Kaum muslim yang merasa dirugikan; disatu sisi mereka telah mengorbankan petunjuk-petunjuk wahyu hanya sekedar mengikuti model, namun disisi lain ternyata tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan dalam mengembangkan peradaban Islam. Hasil pendidikan yang dicapai tetap tidak mampu memobilisasi perkembangan peradaban Islam.

G. Peranan Filsafat Pendidikan

Proses pendidikan adalah proses perkembangan manusia yang secara alamiah menuju kedewasaan dan kematangan, sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh menuju ke tingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, misalnya iklam, makanan, kesehatan, keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia.[19]

Adakah makna kedewasaan, kematangan diatas bersifat biologis-jasmaniah, au rokhaniah (pikir, rasa dan karsa0 ataukah secara moral dalam ari bertanggung jawab, sadar-normaif,. Ataukah semuanya itu. Persoalan ini sudah menyangkut scope dan pengertian tujuan pendidikan yang harus didasarkan pula atas sistem nilai dan asas-asas normatif suatu ke budayaa. Dengan demikaian masalah tersebut suadah merupakanbidang filsafat pendidikan. Sebab lebih dari pada hanya perkembangan teleologis secara alamiah itu, manusiapun mengandung potensi-potensi human dengan martabat kkemanusiaannya. Manusia dengan kodrat human dignity itu, memiliki kesadaran dri (self-existence), potensi pikir, rasa dan karsa. Bahkan manusia mempunyai dorongan untuk merealisasi potensi-potensi psikologis ini supayan berkkembang sebagai satu self realizatian dan ideak=self guna berfungsi dan bermanfaat bagi hidup pribadi dan sosialnya.

Manusia melihat kenyataan, bahwa tidak semua manusia berkembang sebagaimana diharapkan. Lahirlah didalam pemikiran manusia problem-problem tentang kemungkinan –kemunkinan perkembangan potensi manusia itu. Apakah yang menentukan perkembangan dan realisasi potensi manusia itu. Manakah yang lebiuh menentukkan poensi yang kodrati, faktor-faktor alam sekit, faktor luar, khususnya pendidikan,. Thema problem ini memang klasik, karena mmemang sudah lama ada didalam konteks filsafat, psikologi, p[endidika, geneiks dan sebagainya.

Sesungguhnya adanya aktivitas dan lembaga-lembaga pendidikan merupakan jawaban manusia atas problema itu. Karena umat manusia berkesempulan dan yakin bahwa pendidikan itu mungkin dan mampu mewujudkan potensi manusia sbagai aktualias, mka pendidikan itu diselenggerakan.

Timbulnya problem dn pikiran pemecahannya itu adalah bidang pemikiran filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan. Ini berarti pendidikan adalah pelaksanaan daripada ide-ide filsafat. Dengan perkataan lain ide filsafat yang memberi asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan bagi pembinaan manusia, telah melahirkan ilmu penndidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelenggeraan pendidiakan. Jadi peranan filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan.

BAB III

PROSES HIDUP MANUSIA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Manusia dan Filsafat

Manusia memiliki akal pikiran yang senantiasa yang senantiasa bergolak dan berpikir karena situasi dan kondisi alam dimana dia hidup selalu berubah-ubah dan penuh engan peristiwa-peristiwa penting bahkan dahsyat, yang kadang-kadang dia tidak kuasa untuk menentang dan menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi disekitar dirinya. Dipandangnya tanah tempat dia berpijak, dilihatnya bahwa segala sesuatu tumbuh diatasnya, berkembang, berbuah dan melimpah ruah. Segala peristiwa berlaku diatas permukaannya. Dan didalam siang dan malamnya dia menyaksikan kebaikan dan keburukan, kebaktian dan kejhatan, sehat dan sakit, suka dan duka, malang dan senang, hidup dan mati dan sebagainya, yang meliputi dan melingkupi kehidupan manusia. Hal-hal sperti itullah yang menakjubkkan manuasia, menyebabkan dia termenung, merenungksn segala sesutu. Dia berfikir dan berpikir, sepanjang masa dan sepanjang zaman. Dia memikirkan dirinya sebagai mikro-kosmos dan memikirksn jagad raya sebagai makro-kosmos. Diia mmemikirkan juga alam gaib, alam dibalik dunia yang nyyata ini, alam metafisika. Dan diapun mulai membangun pemikiran filsafat.

Di dalam sejarah manusia, setelah kemampuan inttelektual dan kemakmuran manusiameningkat tinggi, maka tampillah manusia-manusia unggul merenung dan memikir, menganalisa, membahas dan mengupas berbagai problem dan permasalahan hidup dan kehidupan, sosial kemasyarakatan, alam semesta dan jagad raya. Maka lahirlah untuk pertama kalinya filsafat alam periode pertama, selanjutnya filsafat alam periode kedua , lalu Sophisme, kemudian filsafat klasik yang bermula kurang enam abad sebelum Masehi.

Memang filsafat alam, baik periode perm,a maupun periode kedua, begitu pula pemikiran Sophisme, belumlah mempunyai pengaruh yang mendalam, daam bidang pendidikan. Barulah setelah lahir filsafat klasikyang dipelopori oleh Socrates (470 SM-399SM), dan murid-muridnya plato dan aristoteles, filsafat mulai berpengaruh positif dalam bidang pendidikan.

Plato telah melahirkan filsafat yang bertolak pangkal kepada idea dan teori filsafatnya disebut Idealisme. Pokok pikiran yang terkandung dalam filsafat ini ialah bahwa apa saja yang ada d dalam alam ini, bukanlah benda yang sebenarnya, yang berada dibalik benda itu, yang disebit idea . Jdi bend yang berada dibalik benda itu, yaitu dunia idea, di siulah terletak hakikat benda itu yang sebenarnya.

12

Sebaliknya, Aristoteles berlawanan dengan gurunya Plato, mengatakan bahwa semua benda-benda yang kita saksikan setiap hari dalam pengalaman hidup kita, adalah benda-benda yang betul-betul ada dan nyata dan bukan bayangan atau khayalan bekaka. Lalu Aristoteles membagi adanya benda-benda itu kepada berbagai macam lingkungan, seperti: Fisika, Biologi, Etika, politik, Psikologi dan sebagainya. Oleh karena paham Aristoteles ini berpijak kepada kenyataan yang berada di dunia nyata, maka diadisebut: Aliran filsafat Realisme.

Kedua aliran filsafat ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli filsafat yang datang kemudian di Jerman, Inggris dan Amerika. Pengikut-pengikut aliran idealisme Plato yang terkenal adalah antara lain: St. Agustinus, Thomas Aquinas, Berkeley, Leibniz, Fictte, Schelling, Hegel, Emerson, T.H.Green, Borden, P. Bowne, Edward Caird, Herbart dan Kant.

Kemudian muncul pula aliran-aliran filsafat dengan nama dan versi baru, tapi masih berlandaskan kepada ajaran Idealisme atau Realisme, seperti Essensialiisme, Existensialisme, Experimentalisme dan lain-lain sebagainya. Hampir semua aliran filsafat ini membicarakan maslah pendidikan dan memikirkan teorii-teori untuk melaksanakan pendidikan menurut pendapat dan paham yang mereka anut dan yakini dapat membentuk dan membina akal pikiran anak didik yang akan mendatangkan kemjuan dan kebhagiaan bagi mereka itu dibelakang hari.

Jadi untuk menghadapi kemajuan ilmu pengetahuun dn teknologi yang begitu pesat sudah jelas sistem pendidikan, teori pendidikan, dan filsafat pendidikan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi dunia sekarang ini. Sistem pendidikan, teori pendidikan dan filsafat pendidikan dan peralatan pendidikan tradisional sudah jelas tidak akan dapat menjawab tantangan zaman yang sekarang kita hadapi.[20]

BAB IV

FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA PENDIDIKAN BAGI MANUSIA

Manusia dicipatakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang mempunyai akal, dengan akal itu manusia mengalami proses berpikir. Manusia berkembang dimulai dari masa anak-anak, remaja dan dewasa. Proses perkembangan manusia itu telah diwarnai pengetahuan-pengetahuan, oleh sebab itu pengetahuan manusia diawali dengan stimulasi, maka ketika ada stimulasi itu manusia selalu ingin mengetahui yang belum diketahui. Rasa ingin mengetahui dalam diri manusia menimbulkan proses berpikir secara natural. Dalam proses kehidupan manusia sering kita menemui anak-anak yang berada dilingkungan santri secara sadar membentuk pribadi yang berakhlak sesuai dengan apa dicontohkan dilingkungan santri.

Manusia adalah subyek pendidikan juga sebagai obyek pendidikan. Manusia dewasa yang berkebudayaan, terutama yang berprofesi keguruan (pendidikan) sebagai subyek pendidikan dalam arti yang bertanggung jawab formal menyelenggerakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki masyarakat bangsa itu.

Manusia yang belum dewasa dalam proses perkembangan kepribadiannya menuju proses kematangan dan integritas adalah ”obyek pendidikan” artinya mereka adalah sasaran atau ”bahan” yang dibina.

Peranan penndidikan di dalam kehidupan manusia di zaman modern ini diakui sebagai satu kekuatan yang menentukan prestasi dan produktivittas seseorang. Tidak ada satu fungsi dan jabatan di dalam masyarakat tanpa melalui proses pendidikan, terutma berlangsung di dalam dan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah, universitas). Akan tetapi scope pendiidikan lebih dari hanya pendidikan formal itu. Di dalam masyarakat keseluruhan terjadi pula proses pendidikan dimana antar hubungan dan interaksi sosial mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia. Proses pendidikan yang berlangsung di dalam kehidupan sosial yang diebut pendidikan informal, bahkan berlangsung sepanjang kehidupan manusia.

Meskipun pengaruh pendidikan informal ini tak terukur dalam perkembnagan pribadi, tapi tetap diakui adanya. Secara sederhana misalnya, orang yang tak pernah mengalami pendidikan formal, mereka yang buta huruf, namun mereka tetap dapat hidup dan melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang sederhana. Alam dan lingkungan sosial serta kondisi dan kebutuhan hidup telah mendidik mereka. Akan tetapi, yang paling diharapkan ialah pendidikan formal yang relatif baik, dilengkapi dengan suasana pendidikan informal yang relatif baik pula, ini ternyata dari usaha pemerintah, pendidikan dan para orang tua untuk membina masyaraka keseluruhan sebagai satu kehidupan yang sehat lahir dan baik. Sebab krisis apapun yang terjadi di dalam masyarakat akan berpengaruh negatif bagi manusia, terutama anak-anak, generasi muda.

14

Prof. Riichey Dalam bukunya ”Planning for teaching, an Introduction toeducation” antara lain sebgai berikut:

The term ”Educatiaon” refers to the broadd function of preserving and improving the live of the group through bringing new members into its shared concernnn. Education is thus a far broader process than that which accurs in schools. It is an essential socil activity by which communities continue to exist. In complex communities this function, but there is always the educatian outside the schoolwith which the formal process is related

Istilah ”pendidikan” berkenaan dan fungsi yang luas dari pemeliharaaan dan perbaikan kehidupnn suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang membawa masyarakat yang baru (generasi muda bagi penunaian keawajiban dan tanggung jawabanya didalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas dari pada proses yang berlangsung dia dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang essenasial yang memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang. Di dalam mayarakat yang kompleks/modern, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah.

Uraian diatas memberikan orientasi bagi kita bahwa pendidikan formal selalu berhubungan dengan pendidikan informal. Paling tidak hubungan tersebut adalah hubungan yang wajar, yakni pendidiakan di sekolah adalah untuk mempersiapkan tenaga-tenaga yang mampu memangku suau fungsi sosial di dalam masyarakat. Hubungan itu dapat pula lebih ideal, yakni pendidikan formal harus mampu meningkatkan dan memajukan masyarakat baik dalam arti keterampilan, berpikir, maupun mental.[21]

BAB V

PENGERTIAN DEMOKRASI PENDIDIKAN DAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN

A. Pengertian Demokrasi pendidikan

Menurut Sugarda Purbakawatja, demokrasi pendidikan adalah pengajaran pendidikan yang semua anggota masyarakat mendapakan pendidikan dan pengajaran yang adil.[22]

Sedangkan menurut M. Muchjiddin Dimjati dan Muhammad Raqib, bahwa demokrasi pendidikan adalah pendidikan yang berprinsip dasar rasa cinta dan kasih sayang terhadap semua.[23]

Demokrasi pendidikan dalam pengertian luas mengandung tiga hal, yaitu:

a. Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia.

b. Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat.

c. Rela berbakti untuk kepentingn/kesejahtern bersama.

a. Rasa hormat terhadap harkatsesama manusia

Demokrasi pada prinsip ini dianggap sebagai pilar pertama untuk menjamin persaudaraan hak manusia dengan tidak memandang jenis kelmin, umur, warna kulit, agama dan bangsa. Dalam pendidikan nilai-nilai iniah yang ditanamkan dengan tidak memandang perbedaan satu dengan yang lainnya baik hubungan antara peserta didik dengan gurunya yang paling menghargai dan menghormai diantara mereka.

b. Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat.

Dari acuan prinsip inilah timbul pandangan bahwa manusia itu harus dididik, karena dengan pendidikan iu manusia akan berubah dan berkembang ke arah yang lebih sehat, baik dan sempurna.

Karenanya sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak atau peserta didik untuk berpikiran memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara teratur, sisematis dan komprehensip secara kritis sehingga anak anak atau peserta didik tadi memiliki wawasan, kemapuan dan kesempatan yang luas. Tentunya dalam proses seperti ini diperlukan sikap yang demokratis dan tidak terjadi pemaksaaan pandangan terhadap orang lain.

c. Rela berbakti untuk kepentingn/kesejahteraan bersama

Lebih jauh lagi pengertian demokrasi disini tidakah berarti setiap orang dibatasi oleh kepentingsn individu-individu lain. Atau dengan kata lain bahwa seseorang menjadi bebas karena orang lain menghormati kepentingannya. Karena seharusnya tidak ada seseorang yang karena kebebasannya berbuat sesuka hati sehingga merusak kebebasan orang lain dan aau kebebasan dirinya sendiri. Dan dengan adanya norma-norama atau aturan serta tata nilai yang terdapat dimasyarakat itulah yang membatasi dan mengendalikan kebebasan setip orang. Karenanya warga negara yang demokratis akan dapat menerima pembatasan kebebasan itu dengan rela hati dan juga orang lain tentunya dapat merasakan kebebasan yang didapat sebagai warga negara tadi. Artinya tiap-tiap warga negara hendaklah memahami kewajibannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara dari suatu negara yang demokrasi yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.

Kesejahteraan dan kebahagiaan hanya akan dapat tercapai apabila setiap warga negara atau anggota masyarakat dapat mengembangkan tenaga atau pikirannya untuk memajukkan kepentingn bersama. Kebersamaan dan kejasama inilah pilar penyangga demokrasi yang dengan selalu menggunakan dialog dan musyawarah sebagai pendekatan sosialnya dalam setiap mengambil keputusan untuk mencapai tujuan kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut.

B. Prinsip-prinsip demokrasi dalam pandangan Islam

Kajian tentang demokrasi menurut pandangan Islam pegertiannya berbeda dengan konsep pengertian demokrasi di Barat, di Timur dan sebagainya.

Acuan pemahaman demokrasi dan demokrasi pendidikan dalam pandanyan ajaran Islam bersumbber dari Al-Quran dan AL-Hadts

Prinsip demokrasi pendidikan Islam dijiwai oleh prinsip demokrasi dalam Islam, atau dengan kata lain demokrasi pendidikan islam merupakan impplementasi prinsip demokrasi islam terhadap pendidikan Islam.

Adapun bentuk prinsip demokrasi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kebebasan bagi pendidik dan peserta didik

Kebebasan disini meliputi: (a) kebebasan berkarya, (b) kebebasan mengembangkan potensi, (c) kebebasan berpendapat.

a. Kebebasan berkarya

Menurut Al-Abrasy, mendidik harus membiasakan peserta didiknya untuk berpegang teguh pada kemampuan dirinya sendiri dan diberi kebebasan dalam berfikir tanpa terpaku pada pendapat orang lain, sehingga peserta didik bisa menentukan secara bebas masa depannya sendiri berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya. Kebebasan seperti ini dapat membiasakan peserta didik menjadi manusia yang berani mengemukakan pendapat dengan penuh tanggung jawab.

17

b. Kebebasan dalam mengembangkan potensi

Nurcholis Madjid membagi fitrah menjadi dua dimensi, pertama fitrah al-gharizah, merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, meliputi akal, nafsu dan hati nurani. Kedua, fitrah al-munazalah adalah potensi luar yang membimbing dan mengarahkan fitrah al-ghazirahuntuk berkembang sesuai dengan fitrahnya melalui proses pendidikan.

Pengembangan potensi pesera didik dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang mampu mengantar pesera didik menjadi hamba allah dan khalifah dimuka bumi dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Ilahiyah.

Ajaran Islam sangat memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam mengembangkan nilai fitrah yang ada pada dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman. Kepada para pendidik, Islam juga menganjurkan agar tidak mengekang kebebasan individu peserta didik dalam mengembangkan potensi-potnsi yang telah dibawanya sejak lahir.

c. Kebebasan dalam berpendapat

Pendidik dituntut untuk menghargai pendapat peserta didik, pesrta didik dituntut pula untuk mengharagai pendapat pendidik dan sesama pesera didik, karena menghargai pendapat merupakn salah satu kebuuhan dalam melaksanakn pendidikan. Dan apabila pendidik maupun peserta didik tidak bisa menghargai pendapat satu sama lain maka pendidikan tersebut tidak bisa berjalan dengan baik.

Zakiah Daradjat, menyatakan bahwa setiap individu yang merasa tidak bebas mengeluarkan apa yang terasa dalam hatinya atau tidak bebas melakukan sesuatu apa yang diinginkannya, maka dia mencari jalan untuk dapat melepaskannya, agar ia merasa bebas dalam hidupnya.

Peran pendidik dalam hal ini adalah membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk mengemukakan isi hatinya dengan cara yang wajar, bermoral serta terpuji dan diridhai Allah swt sesuai dengan tahap-tahap perkembangan jiwanya. Pendidik bukan menekan kebebasan pendapat (bersifat otoriter) pada peserta didik yang nmengakibatkan jiwanya terbelenggu seperti adanya rasa cemas, gelisah dan kecewa selama berlangsungnya proses belajar mengajar.

2. Prinsip persamaan terhadap peserta didik dalam pendidikan Islam

Islam memberikan kesempatan yang sama bagi semua pesera didik untuk mendapatkan pendidikan atau belajar.

Prinsip persamaan terhadap peserta didik dalam pandangan Islam dimaksudkan agar peserta didik yang masuk di dlam lembaga pendidikan tidak ada perbedaan harkat, martabat atau derajat kemanusiaannya, karena penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dalam suatu ruangan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dari pendidik dan

18

peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan wajar dan layak. Prinsip persamaan ini juga akan menimbulkan sifat saling tolong menolong dan sifat kepedulian sosial diantara peserta didik.

Pendidik harus mengajar anak orang yang tidak mampu dengan yang mampu secara bersama atas dasar peyediaan kesempatan belajar yang sama bagi semua peserta didik. Dalam pendidikan Islam tidak ditemukan sistem sekolah unggul karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi pendidikan Islam sebab hal tersebut bersifat diskriminasi terhadap peserta didik. Dalam pendidikan Islam yang ada adalah sistem pelayanan unggul, dimana setiap peserta didik dibimbing mengembangkan potensinya secara maksimal.

Pendidik harus mampu memberikan kesempatan yang sama kepada kesempatan yang sama kepada smua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga para pesert a didik tidak merasa dibeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain.

3. Prinsip penghormatan akan martabat individu dalam pendidikan Islam

Prinsip ini berhubungan dengan keadilan, sedangkan keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan jadi pilar berbagai aspek kehidupan, baik individul, keluarga dan masyarakat.

Sedangkan yang dimaksud dengsn demokrasi sebagai penghormatan akan martbat orang lain adalah seseorang akan memperlakukan orang lain sebgaimana dirinya sendiri. Secara historis prinsip penghormatan akan martabat individu telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam praktek pembebasan kaum tertindas di Mekkah, seperti memerdekakan budak.

Dalam proses pendidikan, pendidik menghargai peserta didik, tanpa membedakan dari mana asanya. Pendidik dapat menimbulkan sifat saling menghargai pendapat diantara sesama peserta didik. Pendidik dalam memberikan ganjaran atau hukuman kepada peserta didik harus yang bersifat mendidik, karena dengan cara yang demikian akan tercipta situasi dan kondisi yang demokrais dalam proses belajar mengajar.[24]

BAB VIII

ALIRAN ESSENSIALISME DALAM PENDIDIKAN

1. Pengertian

Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.

Aliran esensialisme memiliki pola dasar pendidikan yang dapat dikatakan berasal dari aliran filsafat esensialisme meskipun tidak mencakup semuanya. Jadi dapat dikatakan bahwa alirann esensialisme adalah suatu aliran yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama yang dianggap telah bayak memberikan kebaikan-kebaikan bagi umat manusia.[25] Secara singkat, essensialisme diartikan sebagai aliran pendidikan yang berdasar pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia.

2. Latar belakang Munculnya Aliran Esensialisme

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa aliran esensialisme dibentuk oleh aliran realisme dan idealisme yang muncul pada zaman renaissance. Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.[26] Aliran realisme adalah aliran yang beranggapan bahwa alam merupakan sesuatu hal yang menjadi pangkal seseorang untuk berfilsafat. Sedangkan aliran idealisme adalah aliran yang beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Sehingga dengan memuji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu wajar jika ada yang mengatakan bahwa Plato sebagai peletak dasar aliran ini atau Aristoteles dan Democritus sebagai peletak dasar-dasarnya.

3. Hakikat Aliran Esensialisme

Esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali pada kebudayaan lama. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang megarah pada hal-hal yang bersifat duniawi dan serba ilmiah. Esensialisme juga merupakaan konsep yang meletakkan sebagian dari pola pikir modern

4. Pandangan Esensialisme tentang Pendidikan

Esensialisme pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral diantara kaum muda. Kelompok esensialis memandang, bahwa pendidikan yang didasari pada nilai-nilai yang fleksibel atau berubah-ubah dapat menjadikan pendidikan tidak memiliki arah dan orientasi yang jelas. Prinsif esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang esensial dan bersifat menuntun. Esensialisme memberikan penekanan upaya pendidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan pembedaan-pembedaan esensial dan non esensial dalam berbagai program sekolah dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah.

Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah kurikulum yang kaya, bertingkat dan sistematis. Kurikulum pada dasarnya harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Esensialis juga berkeyakinan bahwa inisiatif pendidikan bergantung sepenuhnya pada gurtu, bukan pada subjek didik. Oleh karena itu guru mesti mengambil peranan paling besar untuk mengatur dan mengarahkan subjek didik ke arah kedewasaan. Sedemikain besarnya tanggung jawab dan peranan guru maka guru mesti dibekali berbagai pengetahuan dan keerampilan yang memadai untuk menyokong kompetensinya dalam menjalankan tugas. Kesuksesan belajar menurut esensialisme mesti melalui kemampuan dan keterampilan mengajar guru, baik dalam merencanakan dan mengorganisasikan subjek-subjek materi maupun dalam memahami proses pengembangan pendidikan.

4. Tokoh-tokoh Aliran Esensialisme

Tokoh-tokoh yang tercatat sepanjang sejarahnya, antara lain Desiderius Erasmus, Johann Amus Comenuis, John Locke, Johann Hendrich Pestalozzi, John Frederick Frobel, Herbert, Imanuel Kant, Schopenhauer, Hegel, Kandel dan lain-lain. Artthur K. Ellis dan kawan-kawan menyebutkan, bahwa esensialisme yang dikaitkan dengan pendidikan diformulasikan oleh Prof. William C. Bagley, namun George F. Kneller menambahkan dengan nama-nama seperti Thommas Briggs, Frederick Breed dan Isaac L. Kandel.



[1] Drs. Uyoh sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta Bandung 2003, h. 16

[2] Muhammad Noor Syam, Filsafat pendidikan dan dasar filsafat Pendidikan pancasila, Usaha Nasional Surabaya 1986, h. 16.

[3] Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu pengantar, Bumi aksara, Jakarta 2005, h. 5

[4] Mohammad Noor Syam, 1986, h. 22

1

[5]Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat suatu pengantar, h. 7

2

[6]Mohammad Noor Syam, 1986, h. 18

[7]Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Erlannga, Jakarta 2005. h. 185-186

[8]Ontologi: merupakan landasan untuk memantapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek kajian dan penafsiran terhadap realitas

[9]Epistemologi: Ilmu yang membahas tentang keaslian , pengertian, struktur, metode dan validitas Ilmu pengetahuan

[10]Aksiologi:Ilmu pengetahuan yang membahas tentang hakikat nilai yang ditimjau dari sudut kefilsafatan

3

[11]Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, h. 207

4

[12]Dr. H.M. suyudi, M. Ag, Pendidikan dalam persfektif dalam Al quran, integrasi Epistemologi Bayani, Burhani dan irfani, Mikraj, Jakarta, -------- h. 52

5

[13]Drs. Uyoh sadulloh, h. 71-73

[14]Prof. Dr.H. Abuddin Nata, M.A, Ilmu pendidikan Islam, dengan pendekatan multidisipliner, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, h. 101

7

[15]Dr. H.M. suyudi, M. Ag, h. 54-55

[16]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, PT. Al-maarif, bandung 1989, h. 111

8

[17]Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, h. 209

9

[18]Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa Al-Falsafah fi Ra y Ibn Rusdy wa Falsafah Al-‘Asr Al-Wasit, (Bairut: Al-‘Asr al-Hadis, 1988M/1408 H) h. 91

10

[19]Mohammad Noor Syam, 1986, h. 40

11

[20]Drs. Prasetya, Filsafat pendidikan, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal 146-148

13

[21]Mohammad Noor Syam, 1986, hal. 52-54

15

[22]Sugarda Purbakawatja, Azas-azas Demokrasi dala pendidikan Islam, ditinju dengan latar belakang perkembangan masyarakat, (Jakarta, 199) hal. 34

[23]M.Muchjiddin Dimjati dan Muhammad Roqib, Pendidikan Islam, Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta, tahun 2000, hal 57

16

[24] Drs. Prasetya, hal. 160-164

19

[25]H.B. Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, Kota Kembang, 1993, hal. 116

[26]Imam Barnadib, hal 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar