Pemikiran
Islam Modern di Indonesia
A. K.H.
Ahmad Dahlan (1868- 1923)
Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868
dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang kiyai Haji Abubakar bin Kiyai
Sulaiman, khatibdi mesjid Sultan di kota itu. Sementara ibunya bernama Siti
Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton
Yogyakarta.[1]
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik
sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca,
menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh
langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu
agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh
(ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H.
Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri
(qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya.[2]
Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya
dalam nahu, fiqh dan tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun
1890 di mana ia belajar selama setahun . salah seorang gurunya ialah Syaikh
Akhmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia mengunjungi kembali Tanah Suci di man ia
menetap selama dua tahun lamanya.[3]
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai
disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah
satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2
derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad
Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan
Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan
pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang
berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari
keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku
keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran
yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid
dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi
ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah
ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem
pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta
pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan
hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama
sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial
keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan,
lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu
‘Aisyah.[4]
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk
kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU
(Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang
miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik
kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk
pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas
mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.[5]
B.
Syekh
Djamil Djambek (1862-1947)
Muhammad
Jamil dilahirkan pada tanggal 4 Januari 1863 di Kurai
Bukittinggi. Berasal dan keluarga bangsawan. Ayahnya, Muhammad Saleh Dt. Maleka
dan biasa dipanggil "Inyiak Kapalo Jambek" adalah seorang kepala nagari
Kurai yang cukup disegani. Selain sebagai kepala nagari Kurai, ayah Muhammad
Jamil juga berperan sebagai seorang datuak dalam suku Guci. Jadi ia lebih
banyak mempunyai hubungan darah dengan kalangan adat dibandingkan dengan
kalangan agama. Sedangkan ibunya, seorang transmigran dan Jawa, populer
dipanggil dengan panggilan Cik. Muhammad Jamil memiliki seorang adik bernama
Muhammad Mu'thi. Status ibunya yang secara genealogis bukan berasal dari
Minangkabau yang matrilineal, membuat Muhammad Jamil bersama adiknya berada
diluar garis keturunan. Namun oleh ayahnya, Dt. Maleka, hal demikian tidak
dibiarkannya. Melalui upacara adat menurut tradisi yang berlaku di Minangkabau
pada masa itu, ia kemudian memasukkan anak-anaknya tersebut ke dalam lingkungan
sukunya sendiri, suku Guci. Status sosial yang mapan ditambah lagi dengan
kurangnya dukungan pendidikan agama dari orang tuanya membuat Muhammad Jamil
dikenal sebagai seorang yang nakal pada masa kecilnya. Kenakalan ini berlanjut
hingga remaja. Ia terjerumus kepada
kehidupan hedonistik seperti suka berfoya-foya, penjudi, dan peminum
tuak, Dukungan finansial dan status sebagai warga terpandang mempermudah pola
perilaku kehidupan seperti ini bagi Muhammad Jamil.[6]
Ia
memperoleh pendidikan disekolah rendah yang mempersiapkan pelajar-pelajar untuk
sekolah guru (Kweekschool). Tetapi ia lebih tertarik pada kehidupan parewa
dan baru pada umur 22 tahun ia mulai memberikan perhatian pada pelajaran
(tentang agama dan bahasa Arab). Dalam tahun 1896 ayahnya membawa ia ke Mekkah,
dimana ia bermukim 9 tahun lamanya untuk mempelajari soal-soal agama. Ia
kembali di bukittinggi dari Mekkah pada tahun 1903.
Selanjutnya, dengan antusias Muhammad Jamil Jambek
belajar pada ulama-ulama yang cukup terkenal dan pintar pada masa itu, diantaranya
H. Abdullah Ahmad, Syekh Bafadhal, Syekh Serawak, Khatib Kumango clan Syekh
Thaher Jalaluddin. Dari ulama yang terakhir ini, ia belajar ilmu falak.
Pelajaran yang diperolehnya dad Syekh Thaher Jalaluddin ini menempatkan ia
dikenal sebagai ahli falak yang termasyhur di Minangkabau pada masanya.
Kehidupan Muhammad Jamil Jambek yang kemudian dipanggil Syekh Muhammad Jamil
Jambek penuh dengan dinamika. Pribadi kontroversial pada awalnya, akibat
hidayah dari Allah SWT. dan keinginan yang keras untuk merubah dirinya ke arah
yang lebih baik, pada akhimya menjadikan ia menjadi putra terbaik yang pemah
dimiliki Minangkabau. Namanya hingga sekarang dikenal sebagai seorang ulama
yang memiliki otoritas keilmuan dan juga dikenal sebagai ulama yang memiliki dedikasi
yang sangat tinggi.
Diskusi mengenai pembaharuan Islam di Minangkabau berarti
secara tidak langsung menguak kembali aspek-aspek awal bagi pembaharuan Islam
di Nusantara ini. Gerakan pembaharuan ini pada dasarnya adalah merupakan akibat
logis dari ketidakpuasan terhadap pengamalan ajaran agama Islam yang telah
melenceng dari ajaran yang sesungguhnya. Praktek-praktek khurafat merajalela.
Disamping itu, timbul ketidakpuasan ulama pembaharu terhadap sistem sosial di
Minangkabau dimana pihak mamak lebih besar peranannya dari Bapak yang timbul
dari sistem garis keturunan matrilineal yang dianut oleh masyarakat
Minangkabau. Gerakan pembaharuan agama pada permulaan abad ke-XIX M. Gerakan
ini kemudian disebut dengan gerakan Paderi, sebagai bentuk gelombang pertama
pembaharuan Islam di Minangkabau. Gelombang pembaharuan gelombang kedua terjadi
pada permulaan abad ke-XX M. Gerakan ini, disamping merupakan gerakan pemurnian
aqidah, lebih jauh merupakan pembaharuan sistem pendidikan dan pemumian
pelaksanaan hukum Islam. Sebagai pemeran utama dalam gerakan pembaharuan Islam
gelombang kedua di Minangkabau adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy,
seorang putra Minangkabau yang aktivitas hingga akhir hayatnya dijalankannya di
Mekkah. Sebagai "otak" dari pembaharuan Islam di Minangkabau ini, ia
tidak terjun secara iangsung, akan tetapi pemikiran-pemikirannya lebih banyak
disebarkan melalui murid-mundnya seperti H. Abdul Karim Amrullah (HAKA),
H. Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Jamil Jambek, H. Muhammad Thaib Umar dan lain-lain.
Syekh Muhammad Jamil
Jambek sebagai salah seorang ulama pembaharu yang bergandengan dengan H. Abdul
Karim Amrullah dan H. Abdullah Ahmad. Dalam kaitan dengan dunia pendidikan ini
Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah merupakan tokoh yang unik, la seolah-olah
tidak begitu kelihatan dalam sejarah pendidikan pada dekade ini, oleh karena
dari aktifitasnya tidak dibarengi dengan wadah pendidikan yang ia dirikan
seperti yang dilakukan oleh teman-temannya yang lain. Walaupun pada saat-saat
tertentu dan tidak begitu lama, Syekh Muhammad Jamil Jambek pemah juga
memperkenalkan sistem pendidikan. Hal ini dilakukakannya setelah ia kembali
dari Mekkah, di surau yang ia dirikan sendiri, yaitu di kawasan Tengah Sawah
Bukittinggi.
Namun perhatiannya tidak intens sepenuhnya pada
pendidikan ini, sehingga wadah dan sistem pendidikan ini berakhir. Kemudian ia
mengambil jalur yang lain dimana ia mengunjungi murid-muridnya dan bukan
didatangi oleh murid-muridnya.
Selanjutnya, aspek yang menjadi pusat perhatian Syekh
Muhammad Jamil Jambek pada awalnya adalah dakwah. Usaha-usaha positif yang
dilakukaknnya melalui media dakwah ini terutama dalam penekanan pada aspek
penanaman aqidah islamiah yang mantap. Bertolak dari pertimbangan ini, usaha
yang dilakukannya bertitik tolak dari upaya untuk melakukan pemurnian aqidah
yang telah banyak dipengaruhi oleh khurafat dan bid'ah serta usaha untuk
merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan masyarakat. Pelaksanaan
dakwah yang dilakukan Syekh Muhammad Jamil Jambek tidak hanya terpusat di surau
yang didirikan. Ia sering melakukan perjalanan-perjalanan ke daerah-daerah
tertentu seperti ke daerah Tilatang dan Kamang. Pelaksanaan dakwah seperti ini
secara tidak langsung memperlihatkan bahwa Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah
ulama Waratsatul Anbiya' yang secara ikhlas dan bertanggungjawab untuk
menyebarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Syekh Muhammad Jamil Jambek berusaha
untuk membuktikan bahwa menjadi ulama tidak selalu harus berada pada posisi
"elit" pendidikan yang dicari oleh orang-orang yang membutuhkannya,
akan tetapi juga berusaha memberikan dengan mengantarkan kepada yang
membutuhkan. Suatu style yang
jarang dipunyai oleh ulama-ulama pada masanya.[7]
C.
K. H. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah
Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di
daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H.
bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari
tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan
kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana
diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang
tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan
bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya
dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari
ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai
pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran,
Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari
merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H.
Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya,
sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia
21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.
H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama
istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K.
H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal
ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan
cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat
itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya
adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari
dan Muslim.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah
berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid
Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad
As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh
Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H.
bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren
Tebuireng.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan
dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari
adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis,
mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini
beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
Menurut
Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik
Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru.
Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai
oleh guru ataupun calon guru.
Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah
dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau
khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam
perbuatan.
Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun
dalam perbuatan.
Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak
sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.
Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam
segala hal.
kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan
duniawi semata.
kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.
Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
Kedua
belas,
menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.
Keempat
belas,
menegakkan sunnah Rasul.
Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
Keenam
belas, bergaul
dengan sesame manusia secara ramah,
ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu
berusaha mempertajam ilmunya.
Delapan
belas, terbuka
untuk umum, baik saran maupun kritik.
Sembilan
belas,selalu
mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang
buku.
Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran
keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya:
Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama
belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad
Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama
dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung
ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab
adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa
mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan
menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang
orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi
salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21
tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).
KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai
dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk
kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap
wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.”
Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi
dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum.
Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari,
yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat.[8]
D. Prof.
DR. Harun Nasution (1919-1998)
Harun
Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi
(penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang
Siantar.
Harun
memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School
(HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa
Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu.
Harun
adalah seorang figur yang dapat dicatat dalam sejarah Islam Indonesia, sebab
dengan pemikiran-pemikiran rasionalnya Harun mencoba untuk menghilangkan salah
satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia, yaitu dominasi Asy’arisme yang
sangat bersifat Jabariyah (terlalu mengarah kepada takdir) atau faham fatalisme.
Sebagai usaha ke arah itu, Harun dalam berbagai tulisannya selalu menghubungkan
akal dengan wahyu dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu ke dalam
pandangan Al-Qur’an yang demikian penting dan bebas.
Harun
terus berusaha mengadakan pembaharuan dan merubah kurikulum yang ada di IAIN
Syarif Hidayatullah, dulu mereka takut menggunakan akal, tetapi dengan adanya
perubahan yang Harun lakukan mereka sudah bisa berpikir rasional, itulah
kesimpulan para ahli filsafah Islam tentang IAIN Syarif Hidayatullah.
Diantara
karya tulis Harun Nasution adalah Akal dan Wahyu dalam Islam (1980).
Buku ini menjelaskan pengertian akal dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal
dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan
peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini
menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan
banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja,
tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak pernah
membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.[9]
Untuk
pandangan teologi rasional, Harun sering kali menunjukkan pada tradisi
pemikiran teologi Mu’tazilah dan juga para pemikir pembaharu berikut seperti
Muhammad Abduh dan lainnya. Tapi, mengenai pandangan teologi tradisional Harun
menunjukkan pada pandangan Asy’ariyah.
Atas
dasar inilah Harun membawa pemikiran-pemikiran yang diintrodusir IAIN Syarif
Hidayatullah, sehingga waktu mengenalkannya Harun menggunakan pendekatan
filosofis dalam buah pikirannya, seperti “Islam ditinjau dari berbagai
aspek-aspeknya”, dan hasilnya Harun dapat tanggapan yang baik dikalangan
terpelajar muslim Indonesia, sehingga terjadi dialog, perdebatan bahkan
kritikan.
Akhir
dari semua itu, Harun berhasil membawa IAIN Syarif Hidayatullah sebagai salah
satu IAIN yang terpandang di Indonesia.[10]
[1]
Deliar Noer, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900~1942, PT. Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta, h. 85
[2] http://udhiexz.wordpress.com/2009/04/25/pemikiran-kh-ahmad-dahlan/
di akses 13 Juni 2012
[3] Opcit,
Deliar Noer,
[5]
Ibid,
[6] http://ulama-minang.blogspot.com/2010/01/syekh-djamil-djambek-1862-1947.html diakses 13 Juni 2012
[8] http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-k-h-hasyim-asy%E2%80%99ari/ diakses 13 Juuni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar